Di lingkungan sekitar kita, banyak kita saksikan anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu mempunyai intelektual yang rendah. Tidak jarang banyak dari mereka yang putus sekolah. Ternyata penyebab rendahnya prestasi belajar anak-anak ini adalah rendahnya dukungan dari keluarga dan lingkungan mereka untuk mengembangkan kemampuan intelektual mereka.
Menurut Martin L. Maehr (1974) ada tiga aspek penting dalam kapasitas intelek yang berkaitan dengan rendahnya prestasi belajar anak-anak yang berasal dari lingkungan yang kurang mampu.
1. Perkembangan Bahasa
Dalam status sosial-ekonomi rendah interaksi verbal orangtua dengan anak lebih sedikit dan anak lebih sedikit dan lebih rendah mutunya, daripada interaksi verbal anak-orangtua di lingkungan sosial ekonomi tinggi. Ibu dari kelas sosial-ekonomi rendah menggunakan isyarat fisik dan komunikasi nonverbal dalam memberi perintah dan memberi pengertian yang kurang jelas mengenai tugas, serta memberi informasi yang kurang mencukupi. Menurut Engelman, anak-anak kelas rendah kurang memiliki kemampuan menggunakan bahasa untuk menjelaskan, untuk mendeskripsikan , untuk membandingkan, mempertanyakan, merumuskan dan untuk menguji.
Dalam keluarga yang kurang mampu, segala tenaga dicurahkan untuk mempertahankan hidup. Kehidupan keluarga tidak jarang berantakan. Dalam keadaan demikian, konsekuensi suatu perilaku tidak dapat diramalkan. Akibatnya anak gagal mengembangkan rasa-kuasa maupun strategi memecahkan masalah, kecuali sampai taraf mempertahankan hidup.
2. Perkembangan Persepsi
Anak-anak dari keluarga kurang mampu cenderung berasal dari lingkungan keluarga yang tidak memupuk diskriminasi persepsi. Lingkungan keluarga mereka kurang memungkinkan latihan segala macam persepsi: rumah sesak, barang-barang bertebaran, tidak cukup mainan dan benda-benda yang membimbing perhatian. Ciri lain ialah rangsangan indrawi yang berlebihan yang mengganggu produktivitas: suara keras dan bising, bau menusuk, pemandangan lingkungan yang berantakan. Ini semua merugikan dan tidak mempersiapkan anak untuk belajar di sekolah. Gambar dan buku jarang terdapat di rumah, lagi pula tidak ada orang dewasa yang mempersiapkan anak untuk belajar “membaca” gambar, menamai perbedaan, dan memperhatikan hubungan. Hal ini jelas merugikan, karena di di sekolah anak diharapkan memiliki keterampilan memperhatikan, membedakan dan mengelompokkan. Perbedaan pengalaman persepsi masa dini ini juga mempengaruhi perkembangan intelek.
3. Perkembangan Kognisi
Ketinggalan dalam perkembangan bahasa dan persepsi juga mempengaruhi perkembangan kognisi. Bahasa tidak hanya membentuk gaya kognitif yang kompleks dankemampuan memecahkan masalah, tetapi juga merupakan elemen menentukan dalam belajar hafalan.
Ciri khas budaya dan lingkungan yang serba kekurangan adalah rangsangan yang acak-acakan dan terbatas variasinya. Dampak dari rangsangan semacam ini antara lain berupa rendahnya kemampuan diskriminasi persepsi. Dalam lingkungan ini tidak ada orang dewasa yang dapat dijadikan narasumber untuk mendapatkan informasi, untuk membetulkan kesalahan, untuk mengarahkan uji realitas, maupun sebagai sarana pendukung dan pemuas rasa ingin tahu.
Jadi melihat penjelasan di atas, tidak heran bila anak dari keluarga yang kurang mampu tersebut mempunyai intelektual yang rendah. Keluarga dan lingkungan mereka sendiri tidak mendukung perkembangan bahasa, persepsi dan kognisi mereka.
Daftar Pustaka:
Sukadji, S. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga
Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar