Minggu, 24 April 2011

Perbedaan Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN PERAN PSIKOLOG PENDIDIKAN


Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan pembelajaran dalam lingkungan pendidikan. Psikologi pendidikan berminat pada teori belajar, metode pengajaran, motivasi, kognitif, emosional dan perkembangan moral  serta hubungan orang tua dan anak. Psikologi pendidikan berguna dalam penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas, pengembangan dan pembaruan kurikulum, ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan, sosialisasi proses dan interaksi proses itu dengan pendayagunaan kognitif dan penyelenggaraan pendidikan keguruan. Psikolog pendidikan biasa bekerja di lingkungan sekolah, perguruan tinggi dan di lingkungan pendidikan anak, terutama bekerja dengan guru dan orang tua. Mereka dapat secara langsung bekerja dengan anak (seperti memeriksa perkembangan dan memberikan konseling) dan secara tidak langsung (dengan orang tua, guru dan prifesional lainnya). Karena harus bekerja dengan manusia, psikolog pendidikan harus familiar dengan pendekatan-pendekatan tradisional tentang studi perilaku , humanistik, kognitif dan psikoanalitik. Psikolog pendidikan juga harus mengikuti perkembangan mendadak dari area manajemen kelas dan desain instruksional, pengukuran dan penggunaan gaya dan strategi belajar, penelitian dalam metakognitif, peningkatan aplikasi pendidikan jarak jauh dan perluasan dari pengembangan dan aplikasi teknologi untuk tujuan instruksional.
Psikolog pendidikan kebanyakan bekerja di fakultas-fakultas dalam lingkungan universitas atau institut keguruan atau di lembaga-lembaga penelitian (Balitbang) dan lembaga pendidikan dan latihan (Diklat). Kebanyakan bidang yang mereka kelola adalah psikologi belajar atau pengukuran dan pengembangan tes prestasi. Mereka yang mengajar di institut keguruan, biasa mengkhususkan diri pada matakuliah psikologi dasar seperti psikologi perkembangan, psikologi sosial, dan sebagainya.
Banyak psikolog pendidikan yang terjun di dunia penelitian dan pengembangan. Secara tradisional sumbangan utama mereka adalah mengenai penyusunan tes dan pengembangan metode statistik untuk menganalisis hasil tes dan data reset. Dalam hal ini, psikolog cukup canggih penguasaan metodologinya. Penelitian-penelitian lain yang banyak dipublikasikan adalah topik-topik yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tes, maupun pelaksanaan tes dan prosedur maupun pelaksanaan teknis pengetesan. Psikolog pendidikan perlu terlibat dalam perencanaan kurikulum dan prosedur mengajar-belajar yang didasari ilmu mengenai belajar dan perlu penelitian-penelitian untuk menguji efektivitas prosedur ini di dalam situasi sekolah.

PSIKOLOGI SEKOLAH DAN PERAN PSIKOLOG SEKOLAH

Mulanya psikologi dibutuhkan disekolah sebagai pembina atau pelaksana tes untuk mengidentifikasi dan menggolongkan anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus. Dengan berkembangnya teknologi psikometri dan makin disadarinya kebutuhan sekolah akan pelayanan psikometri tersebut.
Psikolog sekolah menerima referal langsung dari guru, orangtua, staf tata usaha, dan lembaga masyarakat di lingkungannya. Psikolog sekolah melaksanakan pengukuran menggunakan batera-baterai tes lengkap, untuk mengungkap faktor-faktor kognitif, afektif maupun konatif. Psikolog sekolah juga mengungkap informasi pengaruh-pengaruh kehidupan keluarga dan sekolah yang erat kaitannya dengan masalah yang dihadapi anak didik. Ia mempersiapkan laporan rinci gambaran anak didik yang ditangani, biasanya dengan rekomendasi yang rinci dan spesisfik untuk tindakan-tindakan lanjutan. Seringkali psikolog mengkonsultasikan hasil pengungkapannya dengan guru atau orangtua untuk membuat interpretasi. Dalam keadaan gawat ia juga memahami menggunakan hasil diagnosa yang dilakukannya.
Perhatian psikolog sekolah terhadap anak didik bersifat menyeluruh. Tujuannya adalah membantu sekolah dalam menyelesaikan berbagai masalah kesehatan mental yang dihadapi anak didik. Pelaksaan fungsi ini dilengkapi dengan sarana teknologi dan pendekatan psikologik yang lebih maju. Bahkan, psikolog sekolah juga dapat bertugas sebagai interpreter masyarakat untuk memahami sekolah dan sebagai interpreter sekolah untukk memahami hal-hal yang terjadi bila seorang anak didik terlibat urusan dengan lembaga masyarakat di luar sekolah.
Psikolog sekolah menggunakan sekolah sebagai sarana menjalankan tugas dan sebagai media terapeutik. Bantuan tidak langsung lewat lingkungan sekolah berupa konsultasi kepada guru, administrator maupun orangtua, mengenai pendekatan cara mengejar-belajar dan cara memberi perlakuan terhadap siswa yang bermasalah.
Psikolog sekolah tidak hanya melakukan intervensi langusng kepada siswa, orangtua dan guru. Psikolog sekolah juga terlibat dalam tindakan-tindakan yang menyangkut kebijakan dan prosedur sekolah, dalam pengembangan dan evaluasi program dan pelayanan sekolah.
Jadi, fungsi psikolog sekolah mencakup tiga tingkat:
1.       Tingkat psikodiagnostik
2.       Tingkat klinis dan konseling
3.       Tingkat industri dan organisasi


Daftar Pustaka:

Santrock, J.W. 2010. Psikologi Pendidikan edisi kedua. Jakarta: Kencana

Sukadji, S. 2000. Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga
Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia

Rabu, 06 April 2011

Fenomena Pendidikan di Indonesia


Nama Kelompok :

Fenomena Pertama

Derita Anak Karena Kurangnya Perhatian Orang Tua 
Kisah pedih seorang anak berusia 14 tahun, sebut saja namanya yang berinisial JU. Pada dasarnya JU memiliki permasalahan keluarga yang cukup rumit. JU berasal dari keluarga yang kurang mampu dan juga broken home. Permasalahan tampak terasa sekali ketika orang tuanya bercerai, JU beserta adiknya tumbuh dengan perhatian yang kurang dari sang ayah. Sedangkan ibu mereka memutuskan menjadi TKW.


Pembahasan : Hal ini dapat kita kaitkan dengan Neglectful Parenting yaitu gaya asuh dimana orang tuanya tidak peduli atau hanya meluangkan sedikit saja waktu untuk si anak. Kurangnya perhatian dari orang tua karena harus bekerja untuk mendapatkan pemasukan ekonomi keluarga lantas membuat JU tertekan. Ini dikarenakan JU yang seharusnya mendapatkan perhatian dari orang tuanya justru malah harus memberikan perhatian kepada adik-adiknya. Tingkahnya menjadi seperti orang yang dianggap ‘gila’ dan sebagian tetangganya juga menganggapnya kesurupan jin dari sekolahnya. Padahal sudah sangat jelas bahwa dia mengalami depresi akibat tekanan kehidupan keluarga yang sedemikian rupa. Dikarenakan kondisi yang memprihatinkan tersebut, JU tidak diperbolehkan masuk sekolah sebelum dirinya pulih seperti kondisi semula.
Dapat kita lihat juga dari teori perkembangan rentang hidup milik Erikson yang berpendapat semakin sukses individu mengatasi krisisnya , semakin sehat pula psikologinya . Di kasus ini, JU ternyata tidak sukses untuk mengatasi krisisnya yaitu kehidupannya yang kurang berkecukupan ditambah dengan tidak adanya perhatian yang didapatkannya dari keluarga khususnya orang tuanya .

Fenomena Kedua

* Sekolah Hanya Sebagai Simbol 'Tempat Penitipan Anak'
Di sekolah, sering sekali kita menemukan berbagai macam karakteristik kepribadian anak yang menimbulkan kesan dan pandangan sendiri di pikiran kita. Dalam kasus ini, seorang guru membicarakan tentang anak yang dicap sebagai anak bandel, tidak tahu aturan, dan bahkan sering menjadi trouble maker di sekolahnya. Setelah diidentifikasi, ternyata sebagian anak memiliki ayah yang otoriter, dan tidak jarang mereka selalu mengeluh kesakitan saat dipukul dan dihukum ayahnya. Atau ada juga anak-anak yang lain memiliki orang tua yang sibuk dan mereka merasa tidak diperhatikan sama sekali oleh orang tuanya. Sehingga kebanyakan anak dari korban kekerasan pola asuh ataupun kesibukan orang tua mengakibatkan perkembangan si anak menjadi hiperaktif. 


Pembahasan : Dalam kasus ini, masalah yang dihadapi anak jelaslah berasal dari lingkungan keluarganya. Orang tua menerapkan pola asuh yang salah kepada anak, yaitu neglectful parenting, yang merupakan gaya asuh dimana orang tua tidak peduli, atau orang tua hanya meluangkan sedikit waktu dengan anaknya, hasilnya adalah anak tidak kompeten secara sosial. Kebanyakan anak-anak yang bermasalah ini juga akibat pola pendidikan yang tidak sama antara ayah dan ibunya. Si ayah cenderung keras dan si ibu terlalu melindungi anaknya dengan menutupi kesalahan-keslahan anaknya. Mereka menganggap bahwa dengan menyekolahkan anak mereka, maka anak akan berkembang dengan sangat baik karena latar belakang sekolah yang menjanjikan. Itulah mengapa sekolah sering dijadikan sebagai tempat penitipan anak. Padahal sebenarnya, lingkungan keluargalah yang pertama kali membentuk kepribadian dan moral anak. Di lingkungan keluarga inilah anak akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang diharapkan dan tentunya membanggakan. Sistem keluarga merupakan konteks belajar yang utama bagi perilaku dan perasaan individu dimana ibu merupakan guru utama yang dapat menginterpretasikan dunia dan masyarakat bagi anak-anak. (Friedman, 1998). Orang tua adalah figur penting yang menemani anak selama masa perkembangannya, terutama seorang ibu.  Sudah sewajarnya apabila seorang ibu lebih sering menemani buah hatinya pada usia pra sekolah. Kehadiran seorang ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak. Seorang ibu yang meniti karir atau bekerja diluar rumah mengakibatkan berkurangnya waktu untuk menemani perkembangan fisik, mental dan psikis anak. Sebenarnya banyak dari ibu yang dapat mengatasi masalah ini dengan lebih banyak berteman dengan anak ketika mereka dirumah ataupun libur kerja.  Menurut Clemes (2001) bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya.  Oleh karena itu, akan lebih baik orang tua memperbaiki hubungan keakraban dengan anak-anak mereka. Menjalin komunikasi dan membangun sebuah kepercayaan yang akan membuat anak merasa nyaman dan diperhatikan (dianggap penting). Selain itu, Pendekatan karakter juga sangat efektif diterapkan oleh guru sebagai orang tua di sekolah, karena pendekatan karakter adalah pendekatan langsung pada pendidikan moral, yakni mengajar murid dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral dan membahayakan orang lain dan diri sendiri. Kesimpulannya, latar belakang pendidikan di lingkungan keluarga sangat mempengaruhi pola perilaku anak tersebut di lingkungan sekolah. Bagaimana pola asuh orang tua, bahkan seberapa besar perhatian orang tua kepada anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak di lingkungan sekolah. 

Fenomena Ketiga

* Banyak Anak yang Putus Sekolah
Lebih dari 1,1 juta anak memilih berhenti belajar di sekolah selama tahun 2007. Artinya, setiap menit ada 4 anak putus sekolah di Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi tingginya angka putus sekolah itu adalah dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Anak kemudian dikondisikan untuk mencari uang dan menambah penghasilan keluarga. "Anak-anak yang belajar di tempat kami kebanyakan putus sekolah karena faktor dorongan orangtua. Orangtua mereka menginginkan agar anaknya membantu menambah penghasilan," kata Direktur Rumah Belajar Cinta Anak Bangsa (RBCAB) Firza Imam Putra, Kamis (17/12/2009).



Pembahasan :Dewasa ini, pendidikan di Indonesia sudah mulai menyesuaikan dengan keadaan keluarga yang kurang mampu. Hal ini dibuktikan dengan pembebasan biaya pembangunan bagi murid SD dan SMP negri. Tapi kenapa masih saja banyak anak yang putus sekolah? Bahkan dari data yang di dapat, pada tahun 2007 setiap 4 menit anak putus sekolah di Indonesia. Alasannya karena keadaan ekonomi keluarga yang menuntut orangtua untuk mendorong anaknya untuk menambah penghasilan keluarga. Fenomena ini mendorong kita untuk berpikir bahwa kebanyakan anak yang putus sekolah berasal dari keluarga yang kurang dalam pendidikan. Jika orangtua mereka adalah orang yang berpendidikan tapi tersendat biaya atau mereka bukan orang yang berpendidikan namun peduli pada pendidikan anaknya maka mereka pasti akan berusaha agar anaknya tetap sekolah.
Jika menyinggung masalah motivasi, kemungkinan besar anak yang putus sekolah dengan kendala ekonomi ini mempunyai motivasi ekstrinsik maupun motivasi instrinsik yang rendah. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Jika motivasi ekstrinsik anak tinggi, maka ia akan tetap sekolah karena dorongan orangtuanya. Tapi karena memang lingkungan keluarga yang kurang mendukung pendidikan anak, maka si anak juga tidak termotivasi untuk tetap sekolah. Motivasi internal adalah motivasi untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri. Jika si anak punya motivasi instrinsik tinggi, maka ia akan tetap sekolah meski orangtuanya menyuruhnya untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi sering kita lihat bahwa keadaan ekonomi yang buruk seringkali berpengaruh buruk terhadap hubungan di keluarga. Contohnya saja jika si anak tidak mematuhi orangtuanya untuk bekerja, maka orangtua akan memarahi anaknya  dan kadang sampai melukai secara fisik maupun psikologis. Jadi meskipun anak tadi punya motivasi instrinsik yang kuat untuk tetap sekolah, dia lama kelamaan juga bisa kehilangan motivasinya karena lingkungan yang tidak mendukung untuk tetap bersekolah.
Pemerintah memang sudah mencanangkan sekolah gratis untuk SD dan SMP negeri. Tapi apakah masalah sudah selesai sampai disitu? Rupanya tidak. Bagaimana dengan buku-buku pelajaran? Ternyata mereka masih terbebani dengan buku yang mahal. Saat ini seperti yang kita lihat, pelajaran anak SD saja sudah banyak, belum lagi bukunya. Apakah bisa anak-anak itu belajar tanpa buku? Hal itu mungkin saja jika guru dapat mengajar secara efektif tanpa terlalu berpatokan kepada buku

Referensi :
Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Prenada Media Group
Lahey, B.B. (2007). Psychology an introduction (Ninth Edition). New York: McGraw Hill